Salah satu perbukitan sabana di sekitar Air Terjun Tanggedu, Sumba Timur./ Dokumen Pribadi
Seseorang
pernah bilang pada saya, “Jika ingin lihat potret Indonesia yang eksotis,
pergilah ke Sumba.” Saya kira kata-katanya bukan pepesan kosong. Saya mengagumi
Sumba pertama kali usai menonton film bergenre Spaghetti Western, “Marlina: Si
Pembunuh dalam Empat Babak” besutan Mouly Surya. Seingat saya, sutradara
berbakat itu mengambil latar di bukit yang super tandus, kuning, dengan
pepohonan yang nyaris nihil, Bukit Tanarara. Sebuah lokasi yang juga
mengingatkan saya pada bukit yang sama tandusnya dalam video clip Stars and Rabbit, “Man Upon the Hill”, Bukit Wairinding.
Dua-duanya terletak di Sumba Timur, dan relatif mudah dijangkau dengan sepeda
motor dari Waingapu, Ibu Kota Sumba Timur.
Bertahun
setelahnya, saya akhirnya punya kesempatan menyambangi Pulau Cendana ini pada
Juni lalu. Kesan pertama saat menginjakkan kaki di pulau seluas 11.060 km ini cuma
satu: panas. Jika iseng mengintip suhu di Sumba, suhu di sana memang cuma
berkisar di 28 hingga 30 derajat. Namun, kontur Sumba yang merupakan perbukitan
dengan sabana membentang di dekat areal pantai, rasa-rasanya membuat panas jauh
lebih menyengat.
Untuk
sampai di Bukit Wairinding, saya cukup menempuh jarak 30 km dengan sepeda motor
sewaan dari sebuah penginapan di Waingapu. Tanpa ribet, saya bahkan tak diminta
meninggalkan identitas apa pun pada si empunya motor, bahkan ditanya nama pun
tidak. Entah mengapa orang Sumba begitu percaya pada orang asing seperti saya.
Bukit Wairinding yang terkenal sebagai salah satu titik foto di Sumba. Semua masih dikelola swadaya oleh warga setempat./ Dokumen Pribadi
Jalan
di Sumba bagus sekali, sudah berlapis aspal, dan sedikit sekali lubang
menganga. Sejauh mata memandang, saya disuguhi dengan sabana di kanan kiri
jalan. Biasanya di tiap sabana, ada kerumunan hewan ternak mulai dari sapi,
kuda, kerbau, kambing, hingga babi yang dibiarkan merumput sendiri oleh
pemiliknya. Karena lebar jalan yang tak terlalu besar, ditambah kondisi lalu
lintas yang sepi, kawanan hewan ini kerap tidur-tiduran dan bersantai di tengah
jalan. Kalau sudah begitu, saya pun hanya bisa pasrah menunggu mereka bergeser,
terutama jika raungan klakson motor tak mempan bikin mereka minggir. Saya akhirnya
mengerti, kenapa di sepanjang jalan justru rambu bergambar hewan ternak yang
banyak dipasang, alih-alih penunjuk jalan naik, turunan, atau belokan. Nekat menabrak
hewan ini, tak usah ditanya denda adat yang harus dikeruk dari kantung
pengendara.
Sesampainya
di Bukit Wairinding, saya segera mengambil beberapa gambar dan berswafoto. Bukit
ini rupanya memang sesepi dan setandus yang saya lihat di video Stars and
Rabbit. Meski angin sesekali berhembus, tapi tetap tak mampu menghalau panas
kala itu. Untung, hamparan bukit yang indah menyerupai lukisan pemandangan
musim gugur Eropa, membuat saya sejenak melupakan cuaca gersang.
Dua
bocah berumur kira-kira sembilan tahun, berambut merah, dengan kulit cokelat
tiba-tiba menghampiri saya. “Kak, sumbangan seikhlasnya,” tukasnya. Saya buru-buru
mengeluarkan beberapa lembar uang untuk ia simpan lalu menulis nama saya di
buku tamu. Senang, ia menerima uang itu sambil berlari ke warung ibunya di
bawah bukit. Hampir semua lokasi wisata di Sumba Timur ini saya lihat memang
dikelola seadanya oleh warga setempat. Wajar jika fasilitas yang tersedia pun
sekadarnya saja.
Sama
halnya seperti wisata Air Terjun Tanggedu di Sumba Timur yang dikelola warga. Jika
berangkat dari Waingapu, separuh jalan awal memang tampak meyakinkan. Namun,
separuh jalan sisanya bikin saya mengelus dada. Bagaimana tidak, 63 km yang idealnya bisa ditempuh dalam
1,5 jam perjalanan, bisa molor hingga 2,5 bahkan 3 jam. Pasalnya, separuh jalan
betul-betul rusak parah, dengan lanskap bebatuan kapur putih, lubang, gundukan,
dan licin sekali. Di kanan kiri, seperti biasa, sabana gersang membentang luas.
Tak ada rumah warga. Betul-betul tak ada tanda kehidupan sama sekali. Saya sempat
menyangka salah rute, saking sepinya kondisi jalan.
Air Terjun Tanggedu, sepotong surga kecil di Sumba./ Dokumen Pribadi
Perjuangan
tergelincir dan terseok-seok di atas motor, menemui jalan terang setelah saya
melihat sejumlah rumah adat dengan atap tinggi khas Sumba di depan mata. Rumah-rumah
berbahan kayu dan beratap jerami ini terasa lapang dilihat dari depan. Ada rongga
kosong di bawah rumah untuk menyimpan kayu bakar atau kandang hewan ternak.
Setelah
melewati rumah-rumah itu, sinyal hilang total. Saya yang nekat bepergian
bermodal peta di ponsel harus berusaha keras mencari tujuan, di tengah sepinya
aktivitas warga di rumah-rumah mereka. Mungkin sebagian besar tengah pergi ke
ladang di siang hari. Ah, jangankan sinyal telepon, listrik saja tak ada sama
sekali. Saya heran, bagaimana bisa mereka bertahan hidup tanpa dua hal itu. Bagi
warga yang bermukim tanpa listrik seperti Kampung Baduy di Rangkasbitung atau
Kampung Naga di Garut, kondisi mereka mungkin masih bisa terbantu dengan jarak
yang tak jauh-jauh amat dari lokasi keramaian terdekat. Dari Baduy misalnya,
untuk bisa menjangkau daerah berlistrik, cukup berjalan kaki satu jam menuju
Cijahe. Tapi untuk kawasan Tanggedu, mereka harus menempuh jarak selama tiga
jam dengan kondisi jalan yang rusak parah. Ah, saya makin kagum dengan
orang-orang Sumba ini.
Air di Tanggedu ini berwarna hijau kebiru-biruan./ Dokumen Pribadi
Saat
sampai di air terjun tempat syuting film “Susah Sinyal” ini pun saya dibuat
kagum dengan segala kemurnian yang ditunjukkan orang sekitar. Saya memang
sempat salah jalan saat menyusuri bukit tinggi di sekitar Tanggedu. Sampai akhirnya,
seorang pria mengantar saya sampai tujuan. Padahal saat itu, adik-adiknya
memohon sang kakak untuk tetap tinggal di rumah. Ia dan adik-adiknya memang
tinggal sendiri setelah orang tua mereka meninggal.
Tak
berhenti di situ, kemurnian hati juga saya rasakan saat bertemu anak-anak yang
membantu orang tuanya berjualan kelapa muda di atas hulu air terjun. Gadis berambut
sebahu yang sejak saya datang, terus mengamati dari ekor matanya tampak
berkaca-kaca saat saya bersedia membeli sebutir kelapa muda. Harganya Rp20.000.
“Kakak
dari Jakarta?” tanyanya malu.
Saya
jawab, “Iya, saya dari Jakarta Selatan. Ke sini naik kapal.”
Ia
makin antusias. Seorang anak perempuan lain berbisik di kuping ibunya yang
sedang sibuk mengunyah sirih. Ibu itu lantas bercerita, anaknya bermimpi bisa
datang ke Jakarta dan bersekolah di sana. Bagi perempuan itu, Jakarta adalah
tempat yang membidani lahirnya orang-orang besar. Sebuah kota modern dengan
gemerlap lampu dan gedung tinggi di malam hari—sesuatu yang tak bisa mereka
jumpai di tempat asal, Tanggedu.
Mereka yang bermimpi ke Jakarta, anak-anak dan perempuan Tanggedu./ Dokumen Pribadi
"Cita-cita
kami, ingin anak sekolah di Jakarta agar enak belajar. Tak harus bolak balik
jauh dari kampung ke kota."
"Kami
ingin naik kapal, Kakak," imbuh bocah kecil itu antusias.
Saya
kira, buat apa ke Jakarta kalau rumah sendiri seperti surga. Tapi, bisakah
disebut surga ketika penghuninya masih hidup dengan keterbatasan, tak ada
listrik, tak ada sinyal yang bisa dijangkau, sekolah jauh, dan jalan rusak
seperti ini? Apa boleh buat, bagi mereka yang eksotis bukan lagi Tanggedu,
kampung kelahiran, tapi Jakarta yang menjanjikan entah apa.
Komentar
Posting Komentar