Anak-anak Flores ini berlayar dari Kalimantan menuju Kupang dengan orang tua mereka setiap libur Lebaran./ Dokumen Pribadi
Empat
malam di atas Kapal Lawit adalah hari-hari yang berat. Saya yang terbiasa tidur
dalam senyap, terpaksa menenggak obat tidur agar bisa lelap. Tanpa takut terusik
musik dangdut dengan volume kencang dari bapak-bapak di ujung ruangan, atau suara
Dian Sorowea yang meraung dari speaker milik
pria di ranjang sebelah. Entah mengapa lagu “Karena Su Sayang” yang sesekali
saya dengar selama di Jakarta justru membuat bosan lantaran diputar puluhan
kali dalam kapal bikinan Jerman ini. Tak berhenti di situ, dekat pintu masuk,
satu keluarga sibuk berkelakar dan tertawa keras. Asap rokok mengepul di udara,
sementara tangan mereka yang satunya tampak erat memegang kartu-kartu remi. Tangis
penumpang bayi, adik Mathius dari Sumba Barat menambah riuh. Sulit untuk bisa
tidur dengan kondisi seramai itu.
Namun,
bukan perkara tidur yang membuat berat. Perut saya yang rewel tak bisa
menelan makanan yang tersedia di kapal, kecuali menu makan siang dengan lauk
ikan bandeng yang dimasak dengan bumbu kuning. Selebihnya, daging ayam dan cah
sawi menu pagi hari atau sop ayam di malam hari ternyata kurang bersahabat dengan perut.
Untung, Pelni baik sekali menyediakan susu, biskuit, air panas, dan aneka jus. Alhasil,
sebagai gantinya, mi instan dan bubur bayi jadi makanan pokok saya selama di
sini. Makanan yang sukses membuat beberapa sariawan bersarang di langit mulut saking seringnya dilahap.
Penumpang yang tidak mendapat tempat tidur, berjejalan di sepanjang lorong dan tangga kapal./ Dokumen Pribadi. |
Jika kamu anak kota dan ingin menjajal cara hidup berbeda, naiklah kapal Pelni. Ada banyak sekali cerita yang barangkali belum pernah kamu dengar, tapi bisa disaksikan langsung di depan mata. Misalnya, cerita tentang sepasang suami istri dan tiga anaknya yang berlayar dari Kumai, Kalimantan Tengah menuju kampung halaman di Alor. Saat saya naik dari Pelabuhan Surabaya, konon keluarga tersebut sudah tiga hari berada di atas laut. Perjalanan masih panjang, butuh sekitar sepekan lagi untuk tiba ke kampung mereka, dengan catatan cuaca sedang bagus.
Di
sisi lain, mustahil kemanusiaanmu tak terusik saat melihat manusia, dari balita
sampai kakek-nenek berjejalan di sepanjang lorong, tangga, area dapur, bahkan
geladak luar, demi tidur di atas kardus, tikar, atau kalau beruntung, kasur
hijau dari pihak kapal. Mereka inilah orang-orang yang kalah “adu jotos” dengan penumpang lain saat masuk bersamaan. Ya, para penumpang dan kuli angkut pelabuhan selalu masuk
dengan brutal ke dalam kapal, homo homini
lupus, yang kuat yang menang. Yang kalah harus terima nasib tidur tanpa
alas kasur di sembarang tempat. Nomor kasur di atas tiket pun ternyata cuma formalitas
belaka. Saya tanya pada salah seorang ABK, berapa sebenarnya daya muat kapal
ini? “Sebanyak 1.000 orang,” jawabnya. Namun, faktanya, jumlah penumpang
mencapai 1.500 orang, belum termasuk mobil, motor, perabot kulkas, dan berbagai
barang berat yang mereka bawa termasuk hasil panen. Pantas saja, kapal begitu penuh.
Saya
sendiri bisa tidur di atas ranjang besi dengan selembar kasur hijau karena naik
dari Surabaya. Penumpang belum banyak naik waktu itu. Begitu masuk ke Benoa,
yang tersisa hanya hukum rimba di ladang gembala. Penumpang membludak. Kebanyakan
isinya orang Sumbawa dan Nusa Tenggara Timur (NTT), mulai dari Sumba, Flores,
Kupang, Atambua, dan lainnya. Rerata bertato dan memakai tindik, dengan kulit
legam dan badan kekar. Yang perempuan berhidung mancung besar, berambut keriting
(tapi kebanyakan sudah diluruskan di salon), dan bersuara merdu. Saya tahu
indahnya suara mereka saat sama-sama di kamar mandi. Kenapa berpuas diri menyanyi
di bilik toilet, kalau lagu yang mereka dendangkan bisa semerdu itu?
Mega, gadis cilik dari Sumba Barat Daya sedang makan cemilan./ Dokumen Pribadi.
Karakter
orang NTT yang saya jumpai di kapal, seperti spektrum. Makin ke timur meski
penampilan garang, tapi mereka kian suka bergaul dan bicara blak-blakan. Beberapa
di antaranya ramah dan senang bersenda gurau. Justru orang-orang Jawa (tanpa
membuat stereotipe, kebanyakan berwajah dingin tanpa senyum). Meski punya sifat
dasar yang ramah, jangan kaget jika tiba-tiba aneka makian dan sumpah serapah
menyembur dari mulut perempuan timur. Sepertinya hanya di sana, untuk pertama
kalinya saya melihat seorang ibu memaki “tolol” ke balita. Meski kemudian pelukan
hangat melingkar di badan anak tersebut. Saya termasuk yang percaya, bicara
keras bukan berarti orang jahat. Jika kamu terbentuk dari hidup yang
datar-datar saja, alam yang memudahkan kehidupan, tapi tetap gemar bicara kasar
apalagi memaki ke orang yang mungkin
bahkan tak benar-benar kamu kenal, berarti mungkin ada yang salah dengan
kepalamu. Nah, buat orang Sumba dengan bentang alam yang disebut ahli sejarah,
Valentijn (1726), kosong, besar, ganas, tentu membawa andil pada
pembentukan diri mereka.
Lepas dari itu semua, secara keseluruhan, meski menemui banyak pengalaman tak menyenangkan, tapi perkara naik
kapal membelah lautan timur menuju Pulau Sumba adalah hal yang sangat saya
syukuri. Harganya murah, saya hanya merogoh kocek Rp400 ribuan untuk bisa ke daratan
yang dijuluki penjajah Inggris Sandelwood
Island atau Pulau Cendana ini. Dengan fasilitas makan dan cemilan tiga kali
sehari, hiburan organ tunggal dengan biduan perempuan saban malam, pemandangan
indah yang gratis dinikmati, saya kira cukup layak. Belakangan pun saya baru
tahu, jarak Surabaya ke Sumba 1.311 kilometer, dengan rute Benoa, Bali lanjut
Bima di Pulau Sumbawa, lalu ke Sumba. Perjalanan ditempuh dalam lima hari empat
malam dengan sejumlah penghentian di kota yang saya sebut di atas. Jadi, sekali lagi, memang layak naik kapal ini.
Matahari mengintip./ Dokumen Pribadi
Saya
bersyukur pula untuk segala pertemuan dengan orang-orang baru dan tidur
bersisian dengan mereka, serta mendengar cerita orang timur dengan latar debur ombak. Ada
satu cerita menarik dari seorang pria tengah baya dari Lembata soal kebiasaan
memburu paus karena hasil pertanian tak bisa diandalkan. Satu-satunya harapan
adalah pada laut, dan paus sendiri (kecuali paus biru dan paus hamil) adalah pemberitan
Tuhan bagi manusia sehingga laik buat diburu secara tradisional. Daging mereka
akan dibagikan rata pada semua warga, janda, dan yatim piatu, serta dibarter ke
pasar untuk jadi kebutuhan pokok. Mirip seperti tradisi Idul Adha bagi umat Islam.
Ah, kalau begini saya jadi sukar memilih, mana yang lebih hangat: tawa renyah bocah Flores,
obrolan dengan ibu-ibu yang gemar merangkul dan memanggil saya
"anak", teh tawar panas dan makanan sederhana yang dinikmati di atas
geladak sambil melihat matahari terbenam, atau bicara sampai larut dengan
orang-orang baik. Pengalaman dan cerita itu menghangatkan hati. Bahkan, membuat
saya beryukur atas segala kemudahan hidup yang saya terima. Belum termasuk
keramahan orang-orang NTT. Sesuatu yang tak bisa dicari di kota
besar macam Jakarta.
KM Lawit, salah satu kapal andalan Pelni yang melayani rute hingga ke NTT./ Dokumen Pribadi.
Suatu hari saya berjalan dengan pasangan saya dan sengaja menggunakan kapal. Ternyata selain laut bercerita, laut mempertemukan dan menjadikan hati kami lebih dekat satu sama lain.
BalasHapus